Mengenai Saya

Foto saya
Lahat, Sumatera Selatan, Indonesia
Cause we are live under the same sun

Rabu, 28 Oktober 2009

[Sebuah Refleksi] Tentang Ketulusan


Aku sadari … pasti selalu terhenti di sebuah pertanyaan tentang ketulusan, “Tuluskah Aku ?” dan tanya itu menghantui, menakuti tiap aksi dan pikirku.

Ketulusan adalah kemurnian melakukan segala hal, tanpa motif beroleh keuntungan setelahnya.
Tulus memberi sesuatu,
Tulus membincangkan masalah,
Tulus memikirkan suatu hal,
Tulus berinteraksi dengan orang lain,

Tulus adalah tanpa tujuan, bukan pula untuk ketulusan itu sendiri. Bukan sebab dan pula akibat. Tanpa keegoisan.

Dan itu pun harus jatuh bangun untuk mewujudkannya, kadang tergoda untuk sebab tertentu dan beroleh akibat. Berulangkali gagal untuk tulus karena emoh menyangkali eksistensi diri.

[Sebuah Cerpen] Aku, kesendirianku, dan televisiku


Teeeng… Teeeng… Teeeng… jerit nyaring kesakitan tembaga tua sampai di ratusan pasang telinga. Beratus anak pun bersorak dengan penuh gairah beratus anak bersiap, beratus anak bersiaga dan dalam sekejap beratus anak berhambur. Berhambur meraih pintu gerbang. Menjarah simbol kebebasan dan kemerdekaan. Pulang sekolah adalah suatu peristiwa yang dinanti oleh ratusan anak, barangkali ribuan, atau bahkan sampai jutaan anak di seluruh muka bumi. Suatu saat untuk menjadi manusia bebas. Saat untuk menjadi manusia merdeka. Bebas dari belenggu para guru berwajah sangar. Merdeka dari jajahan pelajaran-pelajaran yang memuakan. Bebas dan merdeka dari aturan-aturan sekolah yang mengikat.

Sebaliknya, bagiku pulang adalah suatu saat yang paling nggak kusukai di dalam hidup ini. Saat yang terasa begitu menyiksa. Awal dari penderitaan. Aku lebih suka di sekolah. Di sekolah ada teman yang bisa diajak bercanda dan bercerita. Di sekolah ada pelajaran-pelajaran yang bisa menghabiskan waktu dan membuang jauh sepiku. Dan di sekolah banyak guru yang bisa kugoda, lalu memarahiku. Banyak guru yang merangsang imajinasiku saat mereka berlenggak-lenggok mengajar di depan. Banyak hal yang membuatku ingin berlama-lama di sekolah. Menghabiskan waktu kalau perlu hidupku di sekolah. Tapi kusadari aku bukan penjaga sekolah yang dua puluh empat jam bisa disekolah. Aku punya rumah, walau sebetulnya lebih tepat jika disebut penjara, yang menantiku karena tanpa kehadiranku di sana bangunan itu lebih layak disebut kuburan.

Dengan gontai kuayunkan kedua kaki. Ingin berlama-lama rasanya di jalan meski panas matahari sangat membakar. Walau deru mesin dan jerit klakson memekakan telinga. Dan debu serta asap knalpot begitu membumbung memenuhi udara sehingga tak menyisakan kesegaran sedikit pun. Tapi aku tak peduli, aku menikmati semua itu. Di jalan ada tukang becak berwajah lucu yang terlelap di becaknya. Ada pengamen dengan suara serak kayak kaleng sobek yang nyanyi-nyanyi di tengah perempatan. Ada tukang koran yang mendengus karena korannya tak laku-laku. Ada sopir angkot yang berkerut dahi bak anggota DPR saat mengisi TTS di dalam mobil sambil menunggu penumpang penuh. Di jalan banyak tontonan yang dapat kulihat dan semua itu menghibur hatiku.

Tidak terasa, sampailah aku pada sebuah pintu gerbang dari suatu bangunan yang kata orang-orang megah. Tapi bagiku bangunan ini tak lebih dari kuburan cina, megah tapi bisu dan dingin. Lama kuterpaku di luar pagar. Setelah tekat terkumpul bulat dan membesar maka kulangkahkan tubuh memasuki rumah. Dan inilah permulaan dari siksaanku.

Tok… tok… tok… sekejap kemudian pintu terbuka. Ajaib bukan? Tanpa perlu teknologi super canggih atau berteriak keras cuma cukup mengetuk-ngetukan tangan tiga kali ke pintu maka kita nggak perlu repot-repot buka pintu. Aku masuk ke dalam dan pembantu bergegas minta pamit pulang. Kelihatannya pembantuku pun ogah untuk berlama-lama di rumah ini.

“Kalau aden mau makan sudah saya siapkan. Kalau aden mau tidur sudah saya rapikan tempat tidurnya. Air panas sudah ada jika mau mandi. Pakaian sudah disetrika, semua sudah rapi di lemari. Kalau mau…” intruksi pembantuku mengalir deras tak dapat distop. Aku sudah hafal. Semua yang diucapkan sama tiap harinya.

Sesudah pembantu pergi aku nggak tahu apa yang harus kukerjakan. Benar kata pembantuku tadi jika mau makan udah tersedia. Mau pake baju udah rapi tersetrika. Mau apa-apa di rumah ini semua beres dikerjakan oleh pembantu.

Sungguh, aku nggak tahu harus mengerjakan apa. Mau tidur nggak ngantuk. Mau makan nggak laper. Mau belajar nggak ada tugas. Mau ndengerin radio males karena jam-jam segini lagu-lagunya dangdut. Aku nggak suka dangdut. Mau ngobrol nggak ada teman. Papa kerja sampai malem. Mama sibuk apa nggak tahu, nggak pernah jelas.

Kuhempaskan tubuhku pada sofa. Remote control kuraih. Klik… Channel 1… Sidik. Channel 2… Sergap. Channel 3… Buser. Channel 4… Patroli. Ups, sialan! Semua bikin merinding. Channel 6… silet. Huh, tambah nggak jelas! Kulirik jam dinding. Buset dah! Sebentar lagi pasti semua channel televisi menayangkan gosip artis. Istilahnya aja keren infotaiment tapi tetap aja membosankan! Sangat membosankan. Tapi terpaksalah kunikmati juga acara-acara di teve.

Sebenernya nih saat harus “menikmati” tayangan beraneka info kriminal seperti Sidik, Sergap, Buser, Patroli, dan TKP di stasiun-stasiun televisi sunggguh membuatku geram. Apalagi jika ada berita pembunuhan atau pembuangan bayi oleh orang tuanya sendiri. Buset deh teganya! Biasanya bayi itu tuh lahir dari hubungan gelap atau seks di luar nikah alias selingkuh. Tapi, karena takut memperoleh sanksi sosial dari masyarakat ditambah si pejantan malu bahkan nggak mau mengakui bukti kejantanannya, atau alasan lainnya yang kurasa tak masuk akal maka jalan cepat, singkat dan sesat diambil yaitu menghabisi nyawa si bayi atau membuangnya. Si jabang bayi yang tidak tahu apa-apa jadilah korbannya.

Andai si bayi tuh dapat bicara mungkin dia akan bicara “lebih baik nggak usah berbuat aja deh jika nggak mau ngeliat aku”. Kan sudah jadi hukumnya tuh bahwa buah dari hubungan seks adalah lahirnya manusia baru.

Aku nggak bisa mikir gimana orang bisa membunuh orang. Pake cara sadis lagi. Bagiku membunuh orang lain pake alasan apapun adalah sebuah kejahatan karena dengan sengaja merampas dan menghilangkan suatu kesempatan, yaitu kesempatan orang lain untuk hidup. Lah bagiku tuh aborsi sama aja membunuh. Dan membunuh tuh kejahatan. Katanya bang napi kejahatan bukan hanya dari niat aja tapi karena ada kesempatan. Sialan ketularan jadi bang napi deh, keseringan nonton sih!

Aku bangkit dari sofa. Kuputar-putar sebentar badanku, tegang sih liat acara kriminal lebih dahsyat dari film Rambo dan lebih menegangkan dari film Scream. Kuteguk es the yang udah nggak dingin lagi. Menyegarkan badan untuk “menikmati” acara selanjutnya, infotaiment. Gubraaak… bisa gila nih!

“Astaga… Ariel “Peter Pan” diisukan menghamili cewek!”

“Buset… Sarah Azhari foto bugil!”

“Gile… Nicky Astria kawin lagi!”

“Wah… Krisdayanti selingkuh!”

Waduh gila juga artis Indonesia. Kerjanya kawin cerai. Selingkuh sana selingkuh sini. Tapi kalau dipikir-pikir nih siapa yang gila yah? Artisnya atau wartawan yang bikin berita yah. Wartawannya kali yah habis repot-repot amat ngurusin urusan orang. Ngapain tuh wartawan gak bikin gosip HIM Damsyik kawin dengan Agnes Monica aja biar heboh sekalian. Tapi jangan-jangan malah penontonnya nih yang gila, acara gituan aja ditonton. Buset gila semua berarti!

Kuraih remote control dan klik…televisi mati. Kuputuskan untuk tidur. Tidur membebaskan aku dari siksaanku. Siksaan kesendirian. Siksaan televisi. Tidur membuat segar. Tidak bikin orang gila kaya tetevisi.

Bandar lampung, 10 September 2005