Mengenai Saya
- saldo normal
- Lahat, Sumatera Selatan, Indonesia
- Cause we are live under the same sun
Kamis, 19 November 2009
Minggu, 08 November 2009
Selasa, 03 November 2009
[Part One: sepenggal curahan hati ] The Suffering of Journey...
Uuh... sampai juga akhirnya di Lahat. Busyet, perjalanan dari Bandar Lampung ke lahat melebihi perjalanan dari Bandar Lampung ke Jogjakarta. Sebuah perjalanan yang sebetulnya tidak begitu jauh (jaraknya) tapi sungguh terasa jauh plus membosankan plus melelahkan plus berkesan. Jadilah sebuah perjalanan plus...plus...plus.
Berawal dari peringatan 100 hari meninggalnya nyokap, yang sebetulnya jatuh pas hari kamis (17/9/09). Berhubung aku baru libur hari jumatnya, gak nding... gak ada jam ngajar di hari jumat lebih tepatnya, jadi niatnya bisa mlibur dari awal. Aku pun mengusulkan ke bokap agar nego ke nyokap eh ke romo paroki agar peringatan 100 hari yang planningnya akan menggelar misa kudus bisa dipindah ke hari jumat. Biar aku bisa ikut misa kudus. Dan sukses, misa bisa dipindah hari. Jadi tepatnya peringatan 101 hari meninggalnya nyokap. Udah kayak kisah 101 malam aja. Dan ternyata, aku gak jadi bolos karena libur lebaran di majuin ke hari jumat. Makasih ya MUI udah majuin lebarannya, baru kali ini setuju ama keputusan MUI...
Satu minggu menjelang kepulangan, aku pun ke rajabasa. Pesen tiket bus. Karena kepulanganku ini berdekatan dengan hari lebaran maka dari jauh hari mesti sudah punya tiket. Rajawali nama busnya. Tapi jangan pernah dibayangkan tuh bus sekelas Putra Remaja (PR) atau Rosalia Indah (Rosin). Namanya aja yang gagah, Rajawali. Tapi aku lebih merasa sreg kalau itu bus namanya emprit atau pipit. Bukan berlebihan sih tapi kualitas buruknya terbukti berulang kali. Body bus emang body sekelas PR dan Rosin tapi tempat duduknya sudah dimodifikasi. Yah paket hemat, 2 bangku di kiri dan 3 bangku di kanan plus mepet dengkul antara bangku depan dengan bangku belakangnya. Belum lagi AC yang selalu bermasalah, sering mati. Meski kita bayar tiket bus AC tapi ACnya setengah-setengah. Setengah perjalanan pake Air Conditioner dan setengahnya pake Angin Cendela. Tapi itu menurutku tidak terlalu menjengkelkan. Ada yang lebih, yaitu ban sering pecah di jalan. Termasuk ban serep. Gila kan! Gimana bus bisa jalan dengan ban kempes. Oh yah... bahkan pernah dalam satu perjalanan, ini bus berjalan tanpa listrik di malam hari. Bayangkan tuh ! Udah panas, gelap, olah raga jantung selama delapan jam. Kalo kalian mau tahu gimana bisa jalan dengan selamat sampai di lahat, kalian telpon aja aku. Bingung nyeritainnya. Terus... kenapa masih naik bus itu ? Yah, itu (salah) satu (-satunya) armada bus yang melayani perjalanan ke kota lahat. Emang sih ada beberapa bus jurusan medan yang lewat Lahat tapi gak pasti jam berangkatnya. Dan rata-rata bus jalur sumatera yang murah meriah punya penyakit yang sama. Lagian PR dan Rosin gak sampai lahat sih. Terpaksa... daripada jalan ...
By the way, ternyata bus udah hampir penuh. Karena menjelang lebaran maka orang berbondong-bondong menjadi terdahulu. Takut gak kebagian kursi. Biar bisa mudik. Gile... Dapet kursi nomer 52. Belakang sendiri. Untung... aku buruan pesen tiket. Coba pesennya 3 hari sebelum hari H bisa batal pulang deh.. (Orang Jawa banget yah-situasi sesulit apapun tetep bersyukur-untung...). Jadi mudik deh... ( naik rajawali lagi eh emprit bertubuh rajawali ).
Saat jarum jam menunjukan posisi 17.30, aku cabut ke rajabasa diiringi dua temen baikku. Agus dan Nopi. Dan tepat pukul 17.50 sampai di loket bus Rajawali. Setelah melapor kehadiran, kemudian kami pun berbincang sambil merokok. “Ntar lagi dah mau berangkat kok... udah loe berdua pulang aja” kataku kepada mereka. Dan mereka beranjak pulang. “Jumat depan, jemput yah...!” seruku.
Mahgrib pun menjelang di tepian hari. Wah, tidak lama lagi. Bus berangkat selepas mahgrib. Aku menghabiskan waktu dengan menghabiskan sebatang rokok. Setelah tiga batang rokok habis terhisap, aku baru menyadari jika perut mulai rewel. Dan mesti diisi segera sebelum ngambek.
“Jam berapo berangkat mang ?” tanyaku pada penjaga loket.
“Setengah delapan,” katanya. Busyet... masih lama. Kalau begitu bisa makan neh. Aku pun makan mie goreng pake nasi di warung samping loket. “ah, kenyang sekarang !”
Kira-kira jam 20.00 kelewatan sedikit, penumpang dipanggil untuk segera memasuki bus. Semua penumpang bergerumul. Berdesakan. Berebutan. Padahal kan pasti dapat tempat duduk. Tapi kenapa aku ikut juga berdesakan dan berebutan yah ? Gak penting lah yang penting berengket...
Setelah menghabiskan 15 menit dihabiskan kru bus untuk absen berulang-ulang. Akhirnya bus berangkat. Uuuh... jadi mudik neh ceritanya. Earphone kusumpalkan di telinga. Ahmad Albar sang vokalis God Bless pun berdendang. Mendendangkan tembang rumah kita sendiri. Terbayang kemudian wajah keponakanku, laura. Jeritan-jeritan kecilnya menggema. Berkejaran. Berlari ke sana ke mari. Menyenangkan. Aku pun menutup mata, menikmatinya.
“Loh... kok bau gosok !” pikirku. Kubuka mata lalu kulepaskan earphone dari telinga. Suara bus meraung-raung saat menapaki jalan yang menanjak segera menyerbu masuk lubang telingaku yang tidak lagi tersumpal. “Tanjakan dikit bae dak tenaek...” bisik sebelahku. Betul juga pikirku. “Wah, firasat buruk mang !“ lanjutku. Sebelahku pun mengangguk. Tak lama kemudian, di jalan yang agak datar, bus berhenti di pinggirnya. Kami menunggu. Sambil bertanya satu sama lain. Kemudian bus berjalan lagi. Meraung lagi. Meraung lebih keras.
Tepat di bundaran radin intan, bus berputar, berbalik arah. Kembali menuju ke terminal Rajabasa. Penumpang bengong. Semua bertanya kenapa. Dan kernet menjawab, “Sopir gak berani jalan”. “Mesinnya rusak,” lanjutnya lirih. “Daripada dalam perjalanan macet” ujarnya menguatkan. Dan sampailah bus di terminal. Dan kembali kami menunggu. Arloji menunjukkan pukul sembilan malam.
Dan kini, saat tiga puluh menit berlalu tanpa kepastian, petugas loket menyampaikan secara umum bus dalam keadaan baik tapi sedang dicari penyebab kerusakannya. “Kemarin idak ngapo-ngapo kok” ucapnya. “Bullshit !” batinku. Ah... daripada jengkel lebih baik minum kopi biar kemepyar...
Menyeruput kopi panas. Terasa pahit di lidah dan hangat di tubuh. Sebatang rokok kubiarkan terbakar agar bisa kuhisapi asapnya. “Udem lamo jualan kopi di rajabasa mang ?” tanyaku pada sang penjual. “Apo ?” tanyanya kembali. Kuulangi pertanyaanku, si mamang mendekatkan telinganya, agak budek pikirku kemudian.
“Udem lamo... dari tahun sembilan puluhan. Tapi yo macem inilah. Kadang sepi. Kadang rame. Kalo rame biso dapet Rp 100.000,00 dalam semalem tapi kalo sepi paling Rp 50.000,00. Itu baelah untung. Yo nak cak mano lagi jeme kecik dek pacak ngumong banyak kalu harge naek terus... Pacak makan bae lah besyukur”
Kami berdua bercakap-cakap panjang lebar. Dari masalah idealisme ampe realita. Dari harga sembako ampe korupsi. Dari tsunami aceh ampe tragedi di timika. Pokoknya dari awal ampe pangkal. Seru deh, kayak udah lama kenal aja meski baru dua jam kenal.
What.... buset !!!! gak kerasa udah 2 jam berlalu. Kok tuh mobil belum beres-beres juga yah... waduh ! Aku kemudian menghampiri penjaga loket, “woiiii jam berapo nak berangkat mang ?”. Si penjaga loket melihat arlojinya, “setengah jam lagi lah, baru ngambek mobel serep di garasi”, dengan ringan dia membuat alibi.
Satu jam berselang, dari kejauhan suara deru mobil terdengar. Para penumpang yang menunggu pun serempak berdiri. Semua mata menatap. Menatap dengan berharap. Berharap segera bisa berangkat. Segera mengakhiri perjalanan ini. Perjalanan yang melelahkan, meski belum juga memulai perjalanan.
bersampung....
Rabu, 28 Oktober 2009
[Sebuah Refleksi] Tentang Ketulusan
Aku sadari … pasti selalu terhenti di sebuah pertanyaan tentang ketulusan, “Tuluskah Aku ?” dan tanya itu menghantui, menakuti tiap aksi dan pikirku.
Ketulusan adalah kemurnian melakukan segala hal, tanpa motif beroleh keuntungan setelahnya.
Tulus memberi sesuatu,
Tulus membincangkan masalah,
Tulus memikirkan suatu hal,
Tulus berinteraksi dengan orang lain,
Tulus adalah tanpa tujuan, bukan pula untuk ketulusan itu sendiri. Bukan sebab dan pula akibat. Tanpa keegoisan.
Dan itu pun harus jatuh bangun untuk mewujudkannya, kadang tergoda untuk sebab tertentu dan beroleh akibat. Berulangkali gagal untuk tulus karena emoh menyangkali eksistensi diri.
[Sebuah Cerpen] Aku, kesendirianku, dan televisiku
Teeeng… Teeeng… Teeeng… jerit nyaring kesakitan tembaga tua sampai di ratusan pasang telinga. Beratus anak pun bersorak dengan penuh gairah beratus anak bersiap, beratus anak bersiaga dan dalam sekejap beratus anak berhambur. Berhambur meraih pintu gerbang. Menjarah simbol kebebasan dan kemerdekaan. Pulang sekolah adalah suatu peristiwa yang dinanti oleh ratusan anak, barangkali ribuan, atau bahkan sampai jutaan anak di seluruh muka bumi. Suatu saat untuk menjadi manusia bebas. Saat untuk menjadi manusia merdeka. Bebas dari belenggu para guru berwajah sangar. Merdeka dari jajahan pelajaran-pelajaran yang memuakan. Bebas dan merdeka dari aturan-aturan sekolah yang mengikat.
Sebaliknya, bagiku pulang adalah suatu saat yang paling nggak kusukai di dalam hidup ini. Saat yang terasa begitu menyiksa. Awal dari penderitaan. Aku lebih suka di sekolah. Di sekolah ada teman yang bisa diajak bercanda dan bercerita. Di sekolah ada pelajaran-pelajaran yang bisa menghabiskan waktu dan membuang jauh sepiku. Dan di sekolah banyak guru yang bisa kugoda, lalu memarahiku. Banyak guru yang merangsang imajinasiku saat mereka berlenggak-lenggok mengajar di depan. Banyak hal yang membuatku ingin berlama-lama di sekolah. Menghabiskan waktu kalau perlu hidupku di sekolah. Tapi kusadari aku bukan penjaga sekolah yang dua puluh empat jam bisa disekolah. Aku punya rumah, walau sebetulnya lebih tepat jika disebut penjara, yang menantiku karena tanpa kehadiranku di
Dengan gontai kuayunkan kedua kaki. Ingin berlama-lama rasanya di jalan meski panas matahari sangat membakar. Walau deru mesin dan jerit klakson memekakan telinga. Dan debu serta asap knalpot begitu membumbung memenuhi udara sehingga tak menyisakan kesegaran sedikit pun. Tapi aku tak peduli, aku menikmati semua itu. Di jalan ada tukang becak berwajah lucu yang terlelap di becaknya.
Tidak terasa, sampailah aku pada sebuah pintu gerbang dari suatu bangunan yang kata orang-orang megah. Tapi bagiku bangunan ini tak lebih dari kuburan cina, megah tapi bisu dan dingin. Lama kuterpaku di luar pagar. Setelah tekat terkumpul bulat dan membesar maka kulangkahkan tubuh memasuki rumah. Dan inilah permulaan dari siksaanku.
Tok… tok… tok… sekejap kemudian pintu terbuka. Ajaib bukan? Tanpa perlu teknologi super canggih atau berteriak keras cuma cukup mengetuk-ngetukan tangan tiga kali ke pintu maka kita nggak perlu repot-repot buka pintu. Aku masuk ke dalam dan pembantu bergegas minta pamit pulang. Kelihatannya pembantuku pun ogah untuk berlama-lama di rumah ini.
“Kalau
Sesudah pembantu pergi aku nggak tahu apa yang harus kukerjakan. Benar kata pembantuku tadi jika mau makan udah tersedia. Mau pake baju udah rapi tersetrika. Mau apa-apa di rumah ini semua beres dikerjakan oleh pembantu.
Sungguh, aku nggak tahu harus mengerjakan apa. Mau tidur nggak ngantuk. Mau makan nggak laper. Mau belajar nggak ada tugas. Mau ndengerin radio males karena jam-jam segini lagu-lagunya dangdut. Aku nggak suka dangdut. Mau ngobrol nggak ada teman. Papa kerja sampai malem. Mama sibuk apa nggak tahu, nggak pernah jelas.
Kuhempaskan tubuhku pada sofa. Remote control kuraih. Klik… Channel 1… Sidik. Channel 2… Sergap. Channel 3… Buser. Channel 4… Patroli. Ups, sialan! Semua bikin merinding. Channel 6… silet. Huh, tambah nggak jelas! Kulirik jam dinding. Buset dah! Sebentar lagi pasti semua channel televisi menayangkan gosip artis. Istilahnya aja keren infotaiment tapi tetap aja membosankan! Sangat membosankan. Tapi terpaksalah kunikmati juga acara-acara di teve.
Sebenernya nih saat harus “menikmati” tayangan beraneka info kriminal seperti Sidik, Sergap, Buser, Patroli, dan TKP di stasiun-stasiun televisi sunggguh membuatku geram. Apalagi jika ada berita pembunuhan atau pembuangan bayi oleh orang tuanya sendiri. Buset deh teganya! Biasanya bayi itu tuh lahir dari hubungan gelap atau seks di luar nikah alias selingkuh. Tapi, karena takut memperoleh sanksi sosial dari masyarakat ditambah si pejantan malu bahkan nggak mau mengakui bukti kejantanannya, atau alasan lainnya yang kurasa tak masuk akal maka jalan cepat, singkat dan sesat diambil yaitu menghabisi nyawa si bayi atau membuangnya. Si jabang bayi yang tidak tahu apa-apa jadilah korbannya.
Andai si bayi tuh dapat bicara mungkin dia akan bicara “lebih baik nggak usah berbuat aja deh jika nggak mau ngeliat aku”.
Aku nggak bisa mikir gimana orang bisa membunuh orang. Pake cara sadis lagi. Bagiku membunuh orang lain pake alasan apapun adalah sebuah kejahatan karena dengan sengaja merampas dan menghilangkan suatu kesempatan, yaitu kesempatan orang lain untuk hidup. Lah bagiku tuh aborsi sama aja membunuh. Dan membunuh tuh kejahatan. Katanya bang napi kejahatan bukan hanya dari niat aja tapi karena ada kesempatan. Sialan ketularan jadi bang napi deh, keseringan nonton sih!
Aku bangkit dari sofa. Kuputar-putar sebentar badanku, tegang sih liat acara kriminal lebih dahsyat dari film Rambo dan lebih menegangkan dari film Scream. Kuteguk es the yang udah nggak dingin lagi. Menyegarkan badan untuk “menikmati” acara selanjutnya, infotaiment. Gubraaak… bisa gila nih!
“Astaga… Ariel “Peter Pan” diisukan menghamili cewek!”
“Buset… Sarah Azhari foto bugil!”
“Gile… Nicky Astria kawin lagi!”
“Wah… Krisdayanti selingkuh!”
Waduh gila juga artis
Kuraih remote control dan klik…televisi mati. Kuputuskan untuk tidur. Tidur membebaskan aku dari siksaanku. Siksaan kesendirian. Siksaan televisi. Tidur membuat segar. Tidak bikin orang gila kaya tetevisi.